Khilafah Islam Dalam Sorotan

Oleh : Ziahulhaq

Dikalangan sebahagian para aktivis Islam ada asumsi kuat bahwa khilafah merupakan satu-satu jargon yang paling layak dalam wacana kepemimpinan dalam Islam, atau dalam konteks global mencakup dunia secara keseluruhan. Memang harus diakui sungguh sangat menarik untuk mendiskursuskannya secara lebih integral, karena selalu saja ada muncul kesan bahwa keislaman yang utuh apabila dibangun kerangka yang terkesan qurani, seperti khilafah disebut merupakan inspirasi dari ajaran Islam itu sendiri walaupun sudah 14 abad berlalu saat supremasi peradaban dunia ditangan umat Islam yang tentunya menurut ukuran masa tentunya sudah sangat ‘sepuh’ apabila dihadapkan realitas kekinian dan kedisinian.

Sehingga tentunya menurut hemat penulis minimal ada dua pendukung kenapa wacana khilafah tetap hangat dibicarakan. Pertama. Khilafah sebagai entitas Islam yang selalu dipahami sebagai bagian dari Islam itu sendiri, Kedua. Khilafah sebagai simbol kepemimpinan dalam Islam. Apabila dilihat secara lebih luas bahwa khilafah sebagai entitas bagian ajaran Islam masih debatable dikalangan sarjana muslim antara menolak dan menerima (bandingkan misalnya pemikiran Taha Husain dengan Al-Mawdudi) sebagai indikasi tidak eksplisitnya ke-khilafah-an dalam Islam. Demikian juga memaknai khilafah sebagai simbol kepemimpinan Islam dalam lintas sejarah sendiri dilihat bahwa sistem khilafah tidak lagi mencerminkan nuansa keislaman, bahkan Ibn Khaldun dalam al-Muqaddimah lebih cenderung melihat sistem kepemimpinan pasca Nabi khususnya masa pemerintahan Dinasti kalau itu disebut sistem khilafah sudah tidak sesuai lagi dengan ajaran Islam.

Dari itulah kiranya tidaklah terlalu berlebihan untuk mempertanyakan ulang eksitensi khilafah dengan segala bentuk sistemnya sebagaimana ada asumsi kuat bagi kalangan aktivis muslim merupakan satu-satunya kepemimpinan dunia yang mampu menata kehidupan yang lebih baik dari semua sistem yang ada di dunia ini, bahkan lebih jauh menurut hemat penulis belum ditemukan adanya satu harakah atau organisasi keagamaan yang mampu merealisasikanya sebagaimana ‘mimpi’ Al-Mawdudi dengan Jami‘ah al-Islamiyah yang kandas ditengah jalan saat berhadapan dengan alam nyata dalam artian hanya mampu mewarnai Pakistan sebagai bukti sederhana bahwa khilafah merupakan ‘mimpi’ yang tidak pernah menjadi kenyataan.

Tulisan ini dimaksudkan tidaklah secara keseluruhan menganalisis aspek yang ada dalam khilafah, melain mengambil tema-tema yang dianggap penting sebagai uji coba validitas akan keargumenan dari konsep khilafah tersebut sebagai upaya untuk menemukan formula sistem negara yang baik dalam bentuk aksi yang mampu menyeimbangkan kebutuhan bersifat politis dengan ajaran Islam, sekaligus sangat tidak mungkin akan terjadi sebaliknya, dan tentunya dengan tulisan ini diharapkan mampu untuk melihat secara lebih terang realitas sebenarnya dalam kehidupan antara kepentingan politik dan Islam, atau melakukan depolitisasi Islam sebagaimana yang ditawarkan sebagian sarjana Islam supaya dapat diseimbangkan.

Khilafah: Sebuah Kritik

Untuk memulai kritik ini penulis memulai dengan kembali mempertanyakan ulang apa yang dimaksud khilafah dalam banyak tulisan aktivis Islam yang selalu disebut-sebut sebagai sistem negara dalam Islam yang menerapkan hukum syari‘ah dibawah pimpinan seorang khilafah, apabila dipahami secara cermat bahwa terbangunnya khilafah didasarkan adanya negara Islam yang dalam kajian politik Islam belum ditemukan adanya kerangka negara Islam tersebut secara ekplisit, karena selalu saja terbentur kepada sistem apa yang digunakan didalamnya, bahkan sebagian kalangan sarjana masih meragukan apakah pondasi negara Islam yang dibangun Nabi priode Madinah dapat dikatakan sudah menjadi sebuah negara dalam kacamata politik modern yang sangat terkait pada beberapa kriteria (adanya luas daerah, undang-undang, dan pengakuan negara lain, dan lain-lain), serta perlu ditegaskan bahwa negara umumnya dibangun berdasarkan kepentingan politis semata khususnya kekuasaan yang sangat bertentangan dengan prinsip Islam sebagai ajaran.
Sedangkan pada aspek kepemimpinan seorang khilafah sebagaimana yang diasumsikan oleh kalangan yang mengakui aktivis Islam merupakan syarat terbangunnya khilafah Islam sangat sulit untuk diterima sebagaimana sulitnya merumuskan negara Islam itu sendiri, sehingga apabila diakui adanya kepemimpinan khilafah tentunya akan sangat terkait dengan sistem apa yang dilakukan dalam pengangkatan khilafah tersebut yang mana apabila dirujuk kepada sistem pengangkatan pemimpin yang dilakukan dikalangan Dinasti Umayah dan Abbasiyah lebih mendekati kepada sistem monarchi yang jelas sangat bertentangan dengan prinsip Islam tentang kebebasan menjadi memimpin, dan karena ini jugalah tidak mengherankan kalau Nabi sendiri tidak membuat formula dalam sistem pengangkatan pemimpin, karena kepemimpinan sangat terkait dengan kemampuan dan kepentingan praktis.

Selanjutnya kalaulah disebut negara khilafah merupakan kekuatan politik praktis yang berfungsi untuk menerapkan hukum Islam, serta mengembangkan dakwah dan jihad yang mana apabila diikuti alur pemikiran diatas khususnya membedakan antara kepentingan politik dengan kepentingan Islam bahwa seharusnya politik sebagai ‘kenderaan’ untuk mensukseskan realisasi seperangkat ajaran Islam, akan tetapi ‘sihir’ politik terkadang lebih kuat dari pada ambisi keislaman sering terjadi sebagaimana ada asumsi sebagian kalangan orientalis bahwa orang Islam apabila berkuasa lebih cenderung untuk melakukan otoriter, akan tetapi menurut penulis naluri untuk melakukan otoriter bukan hanya dikalangan orang Islam, melainkan semua orang sangat berpotensi untuk melakukan hal tersebut, dan realitas inilah menimbulkan kuat dugaan bahwa sebagaian kalangan selalu berupaya untuk memisahkan kepentingan politik dengan Islam.

Demikian juga apabila diakui kerangka pemikiran yang mengatakan sistem khilafah Islam adalah pemerintahan Islam yang berbeda dengan republik, monarchi (kerajaan), atau imperium (kekaisaran). Khilafah merupakan kepemimpinan umum bagi kaum muslim di seluruh dunia, dan istilah lain dari khilafah adalah Imamah. Pada posisi ini jelas terlihat akan keeksklusifan sistem pemerintahan yang ditawarkan khilafah hanya terkait dengan istilah khilafah, tetapi tidak memiliki konsep yang tegas akan pemerintahan yang diinginkannya. Lebih lanjut kalau seandainya dikatakan berbeda dengan sistem pemerintahan konvensional yang dianut masyarakat dunia ada kemungkinan khilafah tidak lebih baik dari sistem yang ada, sebagaimana umpanya pemerintahan republik dan kerajaan menawarkan demokrasi sebagai sistem pelaksanaan politik pratisnya tentunya dengan demokrasi tersebut akan mampu menyahuti semua aspirasi kepentingan yang berbeda di dalamnya yang mungkin tidak dimiliki oleh khilafah.

Lebih tegas lagi kalangan ‘pengagum’ khilafah menyatakan dengan optimis kewajiban mendirikan khilafah didasarkan kepada dua argumen, yaitu. Pertama, syari‘ah Islam tidak bisa diamalkan secara sempurna (kaffah), jika tidak dengan sistem khilafah. Kedua, kaum muslimim diharamkan untuk tunduk kepada orang kafir apa lagi yang menjadikannya sebagai pemimpin (wali). Akan tetapi melihat lebih realistis bahwa kesempurnaan pengamalan Islam tidak tergantung kepada khilafah, karena pemaknaan kaffah (totalitas) sangat kondisional, sebagaimana umpamanya dalam Islam selalu dituntut pelaksanaannya sebatas kemampuan yang dimiliki manusia (Lihat Q.S. 2: 286, 233, dan Q.S. 65: 7).

Demikian juga nampaknya larangan untuk tunduk kepada orang kafir tidaklah didasarkan kekafiran semata, melainkan adanya upaya propaganda untuk menghacurkan Islam dan umatnya berbeda halnya di negara sekuler dan liberal yang tidak menjadikan isu agama sebagai hal yang urgen dalam kehidupan, sebenarnya sangat menguntungkan dari sisi perkembangan ajaran agama itu sendiri sebagaimana perkembangan Islam di Barat yang setiap saat mengalami peningkatan, karena tidak dianggap ancaman bagi negara tersebut, dan makanya oleh Ibn Taimiyah sendiri digaris bawahi dalam al-Siyâsah al-Syarî‘ah bahwa lebih baik dipimpin oleh pemimpin zalim (mungkin termasuk kategori kafir di dalamnya), dari pada tidak memiliki pemimpin sama sekali sebagai indikasi bahwa kepemimpinan sangat tergantung kepada keputusan teknis semata, bukan merupakan syarat dalam pelaksanaan ajaran Islam.

Penutup

Dengan demikian wacana khilafah sebagai sistem kepemimpinan dalam Islam atau dalam wawasan yang lebih luas memimpin dunia menurut hemat penulis merupakan ‘mimpi’ yang tidak mungkin terwujud sebagaimana ketidak jelasan dari sistem yang ditawarkan baik konsep khilafah hingga bentuk negara ataupun sistem pemerintahannya sebagai bukti bahwa Islam tidak melihat kepada sistem pelaksanaan pemerintahan harus terkait dengan Islam, melainkan diserahkan kepada kemampuan manusia untuk membangun dan menemukan semaksimalnya dengan dilandaskan kepada prinsip umum, seperti keadilan, egalitarisme, kerakyatan, dan lain-lain sangat sejalan dengan cita Islam sebagai penyelamat kemanusiaan dan alam semesta secara keseluruhan.[]

Leave a comment